Pertemuan ke 2
Kelas 12 IPS 2
Materi
Perencanaan Pemberdayaan Komunitas
Pengertian Pemberdayaan Masyarakat
Para
ilmuwan sosial dalam memberikan pengertian pemberdayaan mempunyai rumusan yang
berbeda-beda dalam berbagai konteks dan bidang kajian, hal tersebut dikarenakan
belum ada definisi yang tegas mengenai konsep pemberdayaan. Oleh
karena itu, agar dapat memahami secara mendalam tentang pengertian pemberdayaan
maka perlu mengkaji beberapa pendapat para ilmuwan yang memiliki komitmen
terhadap pemberdayaan masyarakat.
Pertama akan
kita pahami pengertian tentang pemberdayaan. Menurut Sulistiyani (2004 : 77)
secara etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar “daya” yang berarti
kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan
dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya atau proses pemberian daya
(kekuatan/kemampuan) kepada pihak yang belum berdaya. Kedua pengertian
tentang masyarakat, menurut Soetomo (2011 : 25) masyarakat adalah sekumpulan
orang yang saling berinteraksi secara kontinyu, sehingga terdapat relasi sosial
yang terpola, terorganisasi.
Dari
kedua definisi tersebut bila digabungkan dapat dipahami makna pemberdayaan
masyarakat. Namun sebelum kita tarik kesimpulan, terlebih dahulu kita pahami
makna pemberdayaan masyarakat menurut para ahli. Menurut Moh. Ali Aziz,
dkk (2005 : 136) :
“Pemberdayaan
masyarakat merupakan suatu proses di mana masyarakat, khususnya mereka yang
kurang memiliki akses ke sumber daya pembangunan, didorong untuk meningkatkan
kemandiriannya di dalam mengembangkan perikehidupan mereka. Pemberdayaan
masyarakat juga merupakan proses siklus terus-menerus, proses partisipatif di
mana anggota masyarakat bekerja sama dalam kelompok formal maupun
informal untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman serta berusaha mencapai
tujuan bersama. Jadi, pemberdayaan masyarakat lebih merupakan suatu proses”.
Selanjutnya
pemaknaan pemberdayaan masyarakat menurut Madekhan Ali (2007 : 86) yang
mendefinisikan pemberdayaan masyarakat sebagai berikut ini :
“Pemberdayaan masyarakat
sebagai sebuah bentuk partisipasi untuk membebaskan diri mereka sendiri dari
ketergantungan mental maupun fisik. Partisipasi masyarakat menjadi satu elemen
pokok dalam strategi pemberdayaan dan pembangunan masyarakat, dengan
alasan; pertama, partisipasi masyarakat merupakan satu perangkat
ampuh untuk memobilisasi sumber daya lokal, mengorganisir serta membuka tenaga,
kearifan, dan kreativitas masyarakat.Kedua, partisipasi masyarakat juga
membantu upaya identifikasi dini terhadap kebutuhan masyarakat”.
Mengacu
pada pengertian dan teori para ahli di atas, dalam penelitian ini pemberdayaan
dapat diartikan sebagai upaya membangkitkan kesadaran akan potensi yang
dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya sehingga masyarakat dapat
mencapai kemandirian. Kemudian dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan masyarakat
adalah upaya untuk meningkatkan daya atau kekuatan pada masyarakat dengan cara memberi
dorongan, peluang, kesempatan, dan perlindungan dengan tidak mengatur dan
mengendalikan kegiatan masyarakat yang diberdayakan untuk mengembangkan
potensinya sehingga masyarakat tersebut dapat meningkatkan kemampuan dan
mengaktualisasikan diri atau berpartisipasi melalui berbagai aktivitas.
Tujuan Pemberdayaan Masyarakat :
Tujuan
yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat menurut Sulistiyani (2004
: 80) adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri.
Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berfikir, bertindak, dan
mengendalikan apa yang mereka lakukan tersebut. Untuk mencapai kemandirian
masyarakat diperlukan sebuah proses. Melalui proses belajar maka secara
bertahap masyarakat akan memperoleh kemampuan atau daya dari waktu ke waktu.
Berikut
tujuan pemberdayaan menurut Tjokowinoto dalam Christie S (2005: 16) yang
dirumuskan dalam 3 (tiga) bidang yaitu ekonomi, politik, dan sosial budaya
“Kegiatan pemberdayaan harus dilaksanakan secara menyeluruh mencakup segala
aspek kehidupan masyarakat untuk membebaskan kelompok masyarakat dari dominasi
kekuasan yang meliputi bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya. Konsep
pemberdayaan dibidang ekonomi adalah usaha menjadikan ekonomi yang kuat, besar,
mandiri, dan berdaya saing tinggi dalam mekanisme pasar yang besar dimana
terdapat proses penguatan golongan ekonomi lemah. Sedang pemberdayaan dibidang
politik merupakan upaya penguatan rakyat kecil dalam proses
pengambilan keputuan yang menyangkut kehidupan berbangsa dan
bernegara khususnya atau kehidupan mereka sendiri. Konsep pemberdayaan
masyarakat di bidang sosial budaya merupakan upaya penguatan rakyat kecil
melalui peningkatan, penguatan, dan penegakan nilai-nilai, gagasan,
dan norma-norma, serta mendorong terwujudnya organisasi sosial yang
mampu memberi kontrol terhadap perlakuan-perlakuan politik dan ekonomi yang
jauh dari moralitas”.
Dari
paparan tersebut dapat kita simpulkan bahwa tujuan pemberdayaan adalah
memampukan dan memandirikan masyarakat terutama dari kemiskinan,
keterbelakangan, kesenjangan, dan ketidakberdayaan. Kemiskinan dapat dilihat
dari indikator pemenuhan kebutuhan dasar yang belum mencukupi/layak. Kebutuhan
dasar itu, mencakup pangan, pakaian, papan, kesehatan, pendidikan, dan transportasi.
Sedangkan keterbelakangan, misalnya produktivitas yang rendah, sumberdaya
manusia yang lemah, kesempatan pengambilan keputusan yang terbatas.
Kemudian ketidak berdayaan adalah melemahnya kapital sosial yang ada di
masyarakat (gotong royong, kepedulian, musyawarah, dan kswadayaan) yang pada
gilirannya dapat mendorong pergeseran perilaku masyarakat yang semakin jauh
dari semangat kemandirian, kebersamaan, dan kepedulian untuk mengatasi
persoalannya secara bersama.
Strategi dan Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat
Berdasar
pendapat Sunyoto Usman (2003 : 40-47 ) ada beberapa strategi yangdapat menjadi
pertimbangan untuk dipilih dan kemudian diterapkan dalam pemberdayaan
masyarakat, yaitu menciptakan iklim, memperkuat daya, dan melindungi.
Dalam
upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu
; pertama, menciptakan suasana atau iklim yang
memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Disini titik
tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia memiliki potensi atau daya yang
dapat dikembangkan.Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat
(empowering), upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan, dan
derajat kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti
modal, lapangan kerja, dan pasar. Ketiga, memberdayakan mengandung pula
arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi
bertambah lemah.
Berbicara
tentang pendekatan, bila dilihat dari proses dan mekanisme perumusan program
pembangunan masyarakat, pendekatan pemberdayaan cenderung mengutamakan alur
dari bawah ke atas atau lebih dikenal pendekatanbottom-up. Pendekatan ini
merupakan upaya melibatkan semua pihak sejak awal, sehingga setiap keputusan
yang diambil dalam perencanaan adalah keputusan mereka bersama, dan mendorong
keterlibatan dan komitmen sepenuhnya untuk melaksanakannya.
Partisipasi masyarakat
sangat dibutuhkan dalam rangka perencanaan dan penentuan kebijakan, atau dalam
pengambilan keputusan. Model pendekatan dari bawah mencoba melibatkan
masyarakat dalam setiap tahap pembangunan. Pendekatan yang dilakukan tidak
berangkat dari luar melainkan dari dalam. Seperangkat masalah dan kebutuhan
dirumuskan bersama, sejumlah nilai dan sistem dipahami bersama. Model bottom
memulai dengan situasi dan kondisi serta potensi lokal. Dengan kata lain model
kedua ini menampatkan manusia sebagai subyek. Pendekatan “bottom up” lebih
memungkinkan penggalian dana masyarakat untuk pembiayaan pembangunan. Hal ini
disebabkan karena masyarakat lebih merasa “memiliki”, dan merasa turut
bertanggung jawab terhadap keberhasilan pembangunan, yang nota bene memang
untuk kepentingan mereka sendiri. Betapa pun
pendekatan bottom-up memberikan kesan lebih manusiawi dan memberikan
harapan yang lebih baik, namun tidak lepas dari kekurangannya, model ini
membutuhkan waktu yang lama dan belum menemukan bentuknya yang mapan.
Prinsip-prinsip Pemberdayaan Masyarakat:
Untuk
melakukan pemberdayaan masyarakat secara umum dapat diwujudkan dengan
menerapkan prinsip-prinsip dasar pendampingan masyarakat, sebagai berikut :
a. Belajar Dari Masyarakat Prinsip yang paling mendasar adalah prinsip bahwa
untuk melakukan pemberdayaan masyarakat adalah dari, oleh, dan untuk
masyarakat. Ini berarti, dibangun pada pengakuan serta kepercayaan akan nilai
dan relevansi pengetahuan tradisional masyarakat serta kemampuan masyarakat
untuk memecahkan masalah-masalahnya sendiri.
b. Pendamping sebagai FasilitatorMasyarakat sebagai
Pelaku Konsekuensi dari prinsip pertama adalah perlunya pendamping menyadari
perannya sebagai fasilitator dan bukannya sebagai pelaku atau guru. Untuk itu
perlu sikap rendah hati serta ketersediaan untuk belajar dari masyarakat dan
menempatkan warga masyarakat sebagai narasumber utama dalam memahami keadaan
masyarakat itu. Bahkan dalam penerapannya masyarakat dibiarkan mendominasi
kegiatan. Kalaupun pada awalnya peran pendamping lebih besar, harus diusahakan
agar secara bertahap peran itu bisa berkurang dengan mengalihkan prakarsa
kegiatan-kegiatan pada warga masyarakat itu sendiri.
c. Saling Belajar Saling Berbagi Pengalaman Salah satu prinsip dasar
pendampingan untuk pemberdayaan masyarakat adalah pengakuan akan pengalaman dan
pengetahuan tradisional masyarakat. Hal ini bukanlah berarti bahwa masyarakat
selamanya benar dan harus dibiarkan tidak berubah. Kenyataan objektif telah
membuktikan bahwa dalam banyak hal perkembangan pengalaman dan pengetahuan
tradisional masyarakat tidak sempat mengejar perubahan-perubahan yang terjadi
dan tidak lagi dapat memecahkan masalah-masalah yang berkembang. Namun
sebaliknya, telah terbukti pula bahwa pengetahuan modern dan inovasi dari luar
yang diperkenalkan oleh orang luar tidak juga memecahkan masalah mereka.
Pengertian
Perencanaan Program Perencanaan Masyarakat
2.1 Pengertian
Perencaan
Perencanaan menurut Abe
(2001) dalam Ovalhanif (2009) adalah susunan (rumusan) sistematik mengenai
langkah-langkah mengenai langkah (tindakan-tindakan) yang akan dilakukan di
masa depan, dengan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang seksama atas
potensi, faktor-faktor eksternal dan pihak-pihak yang berkepentingan dalam
rangka mencapai suatu tujuan tertentu.
Menurut Tjokroamidjojo
(1995) dalam Ovalhanif (2009) mendefinisikan perencanaan sebagai suatu cara
bagaimana mencapai tujuan sebaik-baiknya (maksimum output) dengan sumber-sumber
yang ada supaya lebih efisien dan efektif. Selanjutnya dikatakan bahwa,
perencanaan merupakan penentuan tujuan yang akan dicapai atau yang akan
dilakukan, bagaimana, bilamana dan oleh siapa.
Menurut Terry (1960)
dalam Mardikanto (2010), perencanaan diartikan sebagai suatu proses pemilihan
dan menghubung-hubungkan fakta, serta menggunakannya untuk menyusun
asumsi-asumsi yang diduga bakal terjadi di masa datang, untuk kemudian
merumuskan kegiatan-kegiatan yang diusulkan demi tercapainya tujuan-tujuan yang
diharapkan.
Perencanaan juga
diartikan sebagai suatu proses pengambilan keputusan yang berdasarkan fakta,
mengenai kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan demi tercapainya tujuan yang
diharapkan atau yang dikehendaki.
Sesuai dengan
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional, maka Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mencakup lima pendekatan
yaitu: (1) politik, (2) teknokratik, (3) partisipatif, (4) atas-bawah
(top-down), (5) bawah-atas (bottom-up). Ahli-ahli teori perencanaan publik
mengemukakan beberapa proses perencanaan (1) perencanaan teknokrat; (2)
perencanaan partisipatif; (3) perencanaan top-down; (4) perencanaan bottom up
(Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 1996).
1. Perencanaan
teknokrat
Menurut Suzetta (2007)
adalah proses perencanaan yang dirancang berdasarkan data dan hasil pengamatan
kebutuhan masyarakat dari pengamat professional, baik kelompok masyarakat yang
terdidik yang walau tidak mengalami sendiri namun berbekal pengetahuan yang
dimiliki dapat menyimpulkan kebutuhan akan suatu barang yang tidak dapat
disediakan pasar, untuk menghasilkan perspektif akademis pembangunan. Pengamat
ini bisa pejabat pemerintah, bisa non-pemerintah, atau dari perguruan tinggi.
Menurut penjelasan
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional, “perencanaan teknokrat dilaksanakan dengan menggunakan metoda dan
kerangka pikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional
bertugas untuk itu”.
2. Perencanaan
partisipatif
Menurut Wrihatnolo dan
Dwidjowijoto (1996) adalah proses perencanaan yang diwujudkan dalam musyawarah
ini, dimana sebuah rancangan rencana dibahas dan dikembangkan bersama semua
pelaku pembangunan (stakeholders). Pelaku pembangunan berasal dari semua aparat
penyelenggara negara (eksekutif,legislatif, dan yudikatif), masyarakat,
rohaniwan, dunia usaha, kelompok profesional, organisasi-organisasi
non-pemerintah.
Menurut Sumarsono (2010),
perencanaan partisipatif adalah metode perencanaan pembangunan dengan cara
melibatkan warga masyarakat yang diposisikan sebagai subyek pembangunan.
Menurut penjelasan UU. 25
Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional: “perencanaan
partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan
terhadap pembangunan. Pelibatan mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi dan
menciptakan rasa memiliki”. Dalam UU No. 25 Tahun 2004, dijelaskan pula
“partisipasi masyarakat” adalah keikutsertaan untuk mengakomodasi kepentingan
mereka dalam proses penyusunan rencana pembangunan.
3. Perencanaan
top down
Menurut Suzetta (1997)
adalah proses perencanaan yang dirancang oleh lembaga/departemen/daerah
menyusun rencana pembangunan sesuai dengan wewenang dan fungsinya.
4. Perencanaan
bottom up
Menurut (www.actano.com)
adalah planning approach starting at the lowest hierarchical level and working
upward (pendekatan perencanaan yang dimulai dari tingkatan hirarkis paling
rendah menuju ke atas).
Selain itu, menurut
penjelasan UU 25 Tahun 2004, pendekatan atas-bawah (top down) dan bawah-atas
(bottom up) dalam perencanaan dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan.
Rencana hasil proses diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan di
tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Desa.
Tujuan Perencanaan
Tujuan perencanaan
menurut Stephen Robbins dan Mary Coulter dalam Wikipedia adalah (1) memberikan
pengarahan yang baik; (2) mengurangi ketidakpastian; (3) meminimalisir
pemborosan; (4) menetapkan tujuan dan standar yang digunakan dalam fungsi
selanjutnya yaitu proses pengontrolan dan evaluasi.
Tujuan perencanaan dari
masing-masing proses perencanaan sebagai berikut:
1. Perencanaan
teknokrat
Tujuannya untuk membangun
perencanaan strategis dan perencanaan kontingensi, menetapkan
ketentuan-ketentuan, standar, prosedur petunjuk pelaksanaan serta evaluasi,
pelaporan dan langkah taktis untuk menopang organisasi (Tomatala, 2010).
2. Perencanaan
partisipatif
Tujuannya agar masyarakat diharapkan mampu
mengetahui permasalahannya sendiri di lingkungannya, menilai potensi SDM dan
SDA yang tersedia, dan merumuskan solusi yang paling menguntungkan.
3. Perencanaan
top down
Tujuannya adalah untuk menyeragamkan
“corak”, karena perencanaan top down menurut Djunaedi (2000) dalam kegiatan
perencanaan kota dan daerah dilakukan dengan mengacu pada corak yang seragam
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan mengikuti “juklak dan juknis”
(petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis).
4. Perencanaan
bottom up
Tujuan adalah untuk menghimpun masukan dari
“bawah”, karena menurut Sumarsono (2010), apabila di Indonesia perencanaan
bottom up dimulai dari tingkat desa, yang biasanya dihadiri oleh mereka yang
ditunjuk peraturan perundangan ataupun kebijakan lain, misalnya melalui
kegiatan Musyawarah Pembangunan Desa (Musbangdes) atau Musyawarah Rencana
Pembangunan Desa (Musrenbangdes).
Prinsip Perencanaan
Secara umum prinsip
perencanaan menurut Abe dalam Ovalhanif (2009) adalah:
1. Apa
yang akan dilakukan, yang merupakan jabaran dari visi dan misi;
2. Bagaimana
mencapai hal tersebut;
3. Siapa
yang melakukan;
4. Lokasi
aktivitas;
5. Kapan
akan dilakukan, berapa lama;
6. Sumber
daya yang dibutuhkan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar